Tulisan Nusantara

www.Tulisannusantara.blogspot.com
Blogger by : rendyadittt.
About Me
Hallo? Blogger ini kami tulis untuk pengetahuan umum masyarakat Indonesia dan untuk memenuhi persyaratan tugas Softskill di perkuliahan kami. .

Sunday, January 14, 2018




Shared Service adalah konsolidasi atau sebuah business model yang memungkinkan sumber daya – sumber daya atau resources yang ada untuk keseluruhan elemen yang ada di dalam organisasi tersebut untuk level customer-service yang sudah ditentukan sebelumnya. Shared Services adalah sebuah business unit yang terpisah yang diciptakan dalam sebuah perusahaan, sebuah organisasi atau sebuah agen yang bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan atau services kepada operating business unit dan fungsi – fungsi korporasi di perusahaan atau organisasi tersebut.
Selain itu, Shared service bisa juga berarti penyediaan sebuah service atau pelayanan oleh satu bagian dari sebuah organisasi atau grup di mana service tersebut sebelumnya sudah ditemukan di dalam lebih dari satu bagian dari organisasi atau perusahaan tersebut. Secara harafiahnya, shared service adalah sebuah service atau layanan yang di-share atau dibagi pemakaian atau penggunaannnya oleh beberapa ataupun semua bagian -bagian entitas di dalam sebuah perusahaan atau organisasi.
Faktor pendanaan maupun sumberdaya dari service dibagi dan department yang menyediakan pelayanan tersebut secara efektif menjadi sebuah internal service provider atau sebuah penyedia jasa layanan internal. Ide utama dari shared service adalah “sharing” dalam sebuah organisasi atau group. Sharing ini secara fundamental dibutuhkan untuk memasukkan shared accountability atau akuntabilitas pembagian dari hasil oleh unit di mana pekerjaan yang dibagikan tersebut diboyong oleh sang provider. Di sisi sebaliknya, sang provider perlu untuk memastikan bahwa hasil yang sudah disetujui bersama tersebut disampaikan berdasarkan standard tertentu yang sudah ditetapkan (KPIs, cost, kualitas, dll). Shared Services juga bisa diterapkan dalam hubungan antar dua buah organisasi yang berbeda maupun lebih, untuk bagian yang berbeda dari kedua organisasi tersebut.


Contoh
kasus The New York Times, sebuah research and development group yang dipekerjakan oleh surat kabar The New York Times, mengembangkan sebuah sistem shared service di antara dua lusin produsen surat kabar, sebuah stasiun radio dan lebih dari 50 unit websites. Fungsi utama dari shared services yang dikembangkan oleh sang research and development group ini untuk The New York Times adalah untuk menambahkan dan mendukung inovasi yang ada di dalam business unit tersebut.
Upaya yang dilakukan The New York Times memfokuskan pengembangan inovasi teknologi informasi melalui upaya pengumpulan inisiatif dari berbagai pihak yang berbeda.


Ada beberapa keuntungan atau advantages yang didapat oleh The New York Times dalam menerapkan shared services di dalam business units network-nya adalah:
1. Cost-efficiency or Economies of Scale – Dengan menerapkan sistem shared services ini pastinya akan lebih hemat secara cost untuk pihak The New York Times.
2. Jika ada satu inovasi positif yang ingin diterapkan oleh pihak The New York Times akan bisa langsung disampaikan dan diterima oleh semua business units yang terhubungkan secara sistem shared services oleh pihak The New York Times tersebut.
3. Adanya sebuah proses yang sudah terstandardisasikan untuk keseluruhan business units yang tergabung dalam network The New York Times.
4. Common Technology Platform – Dimungkinkannya transformasi yang terkoordinasi antara front, middle dan back-offices yang tergabung dalam network shared services tersebut.
5. Semua Operating units bebas untuk focus kepada proses operasional mereka dan external customers mereka. Jika sewaktu -waktu ada masalah mereka bisa kembali kepada Shared Services untuk support.
6. Decision Support – Data yang dianalisa dan disampaikan adalah data yang sudah reliable dan sudah siap untuk dieksekusi.
7. Flexibility – Shared Services bisa disumberkan melalui berbagai multiple delivery channels dan berbagai lokasi geographis.
8. Scalability – Shared Services delivery model bisa diukur untuk akuisi dari segi dan aspek geographis dan expansi service scope dengan biaya tambahan yang relatif rendah.
9. Diperoleh berbagai inisiatif yang beragam. Ini dimungkinkan karena adanya berbagai pihak yang terlibat dalam upaya inovasi teknologi informasi.
10. Adanya support bagi inovasi dalam unit bisnis melalui kerjasama dengan pihak lain yang lebih kompeten dibidang masing-masing, sehingga akan tercapai inovasi yang unggul. Hal ini sejalan dengan pendapat O’Brien (2005) yang menyatakan bahwa salah satu strategi dasar penggunaan teknologi informasi dalam bisnis adalah strategi persekutuan, dimana perusahaan membuat hubungan dan persekutuan bisnis baru dengan konsultan, dan perusahaan-perusahaan lainnya. Langkah ini dilakukan melalui kerjasama dengan perusahaan di bidang IT (Adobe developers, Times Widgets), perusahaan jasa hiburan (Netflix).
11. Semenjak mulai berinovasi, The New York Times tidak memerlukan modal investasi yang terlalu besar. Menurut O’Brien (2005) salah satu strategi dasar penggunaan teknologi informasi dalam bisnis adalah strategi kepemimpinan dalam biaya, dimana perusahaan berusaha memangkas biaya-biaya dalam proses bisnis. The New York Times mampu meningkatkan pendapatan sekaligus memangkas biaya, melakukan efisiensi melalui perbaikan proses (process development) dan otomatisasi. Upaya ini dilakukan melalui penggunaan software untuk rapid development berupa penggunaan aplikasi pengembangan cepat (rapid application), yaitu software metode pengembangan yang digunakan untuk perencanaan singkat sebelum membentuk prototipe rapid.
Pertumbuhan penggunaan shared services dalam kehidupan berbisnis secara terus menerus dihubungkan dengan restrukturisasi bisnis dalam skala yang lebih besar dan juga terus tumbuh seiring dengan pertumbuhan entitas bisnis secara keseluruhan di dunia ini dan juga kegunaannya untuk membentuk sebuah platform atau landasan yang kokoh untuk pertumbuhan global yang bertumbuh secara cepat. Secara umum, faktor pendorong yang kuat untuk mengimplementasikan shared services sering sekali berhubungan dengan costs, kualitas, speed, dependablity, dan flexibility.
Beberapa keterbatasan atau disadvantages yang didapat oleh The New York Times dalam menerapkan shared services di dalam business units network-nya adalah:
1. Resistence to Change – Perubahan management yang efektif harus menjadi sebuah komponen dari implementasi shared services tersebut, tanpa memandang bulu sumbernya.
2. Legacy Systems – Walaupun selalu tidak menjadi mungkin, shared services dan interogasi sistem adalah bagian dari proyek transformasi yang bisa menghasilkan hasil yang sukses. Keterbatasan dari legacy bisa membuat hasil yang diinginkan tidak optimal.
3. Leadership – Ada saat – saat yang sulit, di mana semua orang harus mempunyai pandangan yang sama bilamana ada kebijakan yang ingin diterapkan
4. Shared Service Team – Perilaku dan Kemampuan yang telah ditentukan oleh sebuah team yang service-oriented diprioritaska untuk memungkinkan dan memampukan teknologi untuk mengoptimalisasi proses yang bisa jadi tidak eksis dalam organisasi hari ini. Pastikan dalam menentukan orang yang tepat sebelum kita memulainya.
5. Perusahaan yang sehat dan berkembang perlu menyisihkan 90-95% dari dana inovasinya untuk inovasi sesuai inti bisnisnya dan 5-10% untuk model bisnis baru. Artinya perlu ada kepastian dana yang tidak sedikit dalam upaya inovasi ini. Hal ini bertolak belakang dengan upaya The New York Times yang justru melakukan efisiensi biaya.
6. Keterbukaan The New York Times untuk menjalin kerjasama dengan pihak luar yang memiliki beragam inisiatif berbeda membuka peluang pada terbukanya “informasi berharga” kepada pihak luar yang mungkin tidak menguntungkan bagi The New York Times.
7. Industri surat kabar menghadapi permasalahan yang komplek, oleh karena itu memerlukan kesabaran untuk mengembangkan model bisnis yang baru dan memastikan budget keuangan perusahaan selalu tersedia.
Secara umum, kelemahan dari shared services adalah proses yang dihasilkan secara keseleruhan akan dibuatnya lebih panjang dan lebih kompleks. Suatu sistem yang mampu menampung dan menyebarkan kembali ide-ide dari masing-masing individu maupun tim perusahaan memerlukan infrastruktur teknologi informasi yang lebih baik dan akan membutuhkan dana yang tidak sedikit.





Pasca keberhasilan Gojek menguasai pasar transportasi online Tanah Air, sejumlah aplikasi transportasi besutan anak bangsa pun mulai unjuk gigi.

Bedanya, jika Gojek memulai bisnisnya dari Jakarta, banyak aplikasi jasa transportasi yang justru berkembang dari daerah.

Contohnya Jakuza yang berbasis di Sangatta, Kalimantan Timur. Jasa transportasi ini baru saja meluncurkan aplikasinya di Play Store bulan ini.

Founder Jakuza Eko Sulistianto mengatakan dia mendirikan Jakuza karena melihat peluang bisnis dari animo masyarakat di daerahnya. Apalagi sebagai kota kecil, jangkauan pemain besar seperti Gojek dan Grab belum sampai ke sana.

Selain Jakuza, baru-baru ini perusahaan jasa rental mobil konvensional PT Angelita Trans Nusantara meluncurkan aplikasi Atrans.

Saat ini aplikasi Atrans sudah tersedia di App Store dan Play Store. Layanan yang ditawarkan adalah Trans Ojek, Trans Car, Trans Hour-Rent, Trans Food, Trans Send, Trans Box dan Trans Day-Rent.

Atrans saat ini memiliki agen perwakilan di berbagai kota yaitu Jakarta, Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Palembang, Medan, dan Makassar. Agen-agen ini akan menyediakan kendaraan, yang dapat disewa oleh konsumen.

Selain itu ada B-trans yang berbasis di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Aplikasi besutan PT Borneo Transformasi Nusantara ini bahkan sudah diunduh lebih dari 5.000 orang di Play Store.

Aplikasi online B-Trans baru dirilis Februari 2017. Untuk saat ini hanya melayani daerah Martapura, Banjarbaru, Banjarmasin, dan Peleihari.

Selain ojek, B-trans juga menyediakan layanan carter mobil online, pesan antar makanan, barang dan dokumen, reservasi tiket sampai jual beli properti.

Namun Ojek online Bisnis kreatif dan inovatif yang memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi yang paling menonjol saat ini adalah Gojek. Yang merupakan industri baru di Indonesia. Kemampuan melihat peluang usaha dengan memanfaatkan Teknologi Informasi dan Komunikasi di Indonesia patut diacungi jempol. Gojek adalah pelopor bisnis Ekonomi Kreatif berbasis TIK di Indonesia, dalam waktu singkat perusahaan tersebut mampu menjadi sorotan masyarakat dan pelaku bisnis lainnya, sebagian kalangan pemerintahan pun memujinya dan menganggap itu sebagai ekonomi kreatif. Pro dan kontra di kalangan pelaku bisnis pun muncul, penolakan dan dukungan datang silih berganti, bahkan demo besar-besaran para pengemudi taxi, bis, mikrolet yang merasa terusik dan dirugikan dengan hadirnya Gojek turut mewarnai pro dan kontra kehadiran kedua bisnis kreatif tersebut di Indonesia. Bahkan menteri perhubungan sempat melarang beroperasinya Gojek, namun larangan tersebut mendapat perlawanan dan tantangan dari berbagai pihak, antara lain banyaknya protes dari masyarakat, kalangan akademisi, politikus, netizen, dan tentu saja para pengemudi Gojek itu sendiri merasa keberatan dengan larangan tersebut, melihat besarnya penolakan terhadap larangan operasi Gojek tersebut yang dapat berpotensi menimbulkan gejolak sosial yang mengganggu stabilitas ekonomi dan sosial Presiden turun tangan sehingga akhirnya larangan Menteri Perhubungan tersebut dibatalkan. Fenomena Gojek sebagai bagian dari industri kreatif tersebut yang mendapat sorotan dari berbagai pihak, mulai dari masyarakat umum, kalangan akademisi, profesional, politisi, aparatur pemerintahan telah menjadi berita skala nasional dan internasional. Kehadiran Gojek dengan inovasi dan kreativitas bisnisnya yang membawa manfaat luar biasa bagi banyak pihak khususnya masyarakat pengguna transportasi inilah yang menginspirasi penulis untuk membuat artikel dengan judul “Ekonomi Kreatif Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi ala Gojek”.

Kekurangan Gojek

Pernah mencoba memesan ojek online tapi tidak mendapat respon dari aplikasinya? Saya pernah. Ketika mencoba memesan ojek via Go-Jek, aplikasi yang saya gunakan tidak merespon, sehingga saya terpaksa menggunakan moda transportasi yang lain. Konon ini disebabkan salah satunya oleh over load-nya server si aplikasi, akibat tidak bisa menampung banyaknya user dan driver. Error ini juga pernah saya alami ketika mencoba memasukkan kode referral serta menentukan lokasi penjemputan.
Kelahiran Web Science didorong oleh pergerakan generasi Web dari Web 1.0ke Web 3.0.Sejak diperkenalkan Web pada tahun 1990 oleh Tim Berners-Lee, perkembangan yang terjadi luar biasa.
Perbedaan utama dari setiap generasi adalah pada Web 1.0 masih bersifat read-only, pada Web 2.0 bergerak ke arah read-write,sedangkan pada Web 3.0 mengembangkan hubungan manusia ke manusia, manusia ke mesin, dan mesin ke mesin.
Pada Web 2.0 kegiatan sosial sudah dimulai, dengan semakin popularnya berbagai fasilitas seperti wikipedia, blog, friendster dan sebagainya. Tetapi kendala utama pada Web 2.0 adalah penangan untuk pertukaran data atau interoperabilitas masih sulit.
Web 3.0 mencoba menyempurnakan Web 2.0 dengan memberikan penekanan penelitian pada Semantic Web, Ontology, Web Service, Social Software, Folksonomies dan Peer-to-Peer. Penelitian ini sangat memperhatikan ‘budaya’ sebuah komunitas terhadap kebutuhan akan sebuah data atau informasi.

Web 1.0
web 1.0 adalah merupakan teknologi web yang pertama kali digunakan dalam aplikasi world wide web, atau ada yang menyebut web 1.0. sebagai www itu sendiri yang banyak digunakan dalam situs web yang bersifat personal.
Beberapa ciri atau karakteristik web 1.0. adalah:
1. Merupakan halaman web yang statis atau hanya berfungsi untuk
menampilkan.
2. Halaman masih didesain sebagai html murni, yang ‘hanya’
memungkinkan orang untuk melihat tanpa ada interaksi
3. Biasanya hanya menyediakan semacam buku tamu online tapi tidak
ada interaksi yang intens
4. Masih menggunakan form-form yang dikirim melalui e-mail, sehingga
komunikasi biasanya baru satu arah.

Web 2.0
Web 2.0, adalah sebuah istilah yang dicetuskan pertama kali oleh O’Reilly Media pada tahun 2003, dan dipopulerkan pada konferensi web 2.0 pertama di tahun 2004, merujuk pada generasi yang dirasakan sebagai generasi kedua layanan berbasis web—seperti situs jaringan sosial, wiki, perangkat komunikasi, dan folksonomi—yang menekankan pada kolaborasi online dan berbagi antar pengguna. O’Reilly Media, dengan kolaborasinya bersama MediaLive International, menggunakan istilah ini sebagai judul untuk sejumlah seri konferensi, dan sejak 2004 beberapa pengembang dan pemasar telah mengadopsi ungkapan ini.
Walaupun kelihatannya istilah ini menunjukkan versi baru daripada web, istilah ini tidak mengacu kepada pembaruan kepada spesifikasi teknis World Wide Web, tetapi lebih kepada bagaimana cara si-pengembang sistem di dalam menggunakan platform web.
Mengacu pada Tim Oreilly, istilah Web 2.0 didefinisikan sebagai berikut:
“Web 2.0 adalah sebuah revolusi bisnis di dalam industri komputer yang terjadi akibat pergerakan ke internet sebagai platform, dan suatu usaha untuk mengerti aturan-aturan agar sukses di platform tersebut. ”
Prinsip-prinsip Web 2.0
1. Web sebagai platform
2. Data sebagai pengendali utama
3. Efek jaringan diciptakan oleh arsitektur partisipasi
4. Inovasi dalam perakitan sistem serta situs disusun dengan
menyatukan fitur dari pengembang yang terdistribusi dan independen
(semacam model pengembangan “open source”)
5. Model bisnis yang ringan, yang dikembangkan dengan gabungan isi
dan layanan
6. Akhir dari sikllus peluncuran (release cycle) perangkat lunak
(perpetual beta)
7. Mudah untuk digunakan dan diadopsi oleh user

Perbedaan Web 1.0 dan Web 2.0
yang menjadi kunci perbedaan dalam Web 1.0 dan Web 2.0 adalah keterbatasan pada Web 1.0 yang mengharuskan pengguna internet untuk datang ke dalam website tersebut dan melihat satu persatu konten di dalamnya. Sedangkan Web 2.0 memungkinkan pengguna internet dapat melihat konten suatu website tanpa harus berkunjung ke alamat situs yang bersangkutan. Selain itu, kemampuan Web 2.0 dalam melakukan aktivitas drag and drop, auto complete, chat, dan voice seperti layaknya aplikasi desktop, bahkan berlaku seperti sistem operasi, dengan menggunakan dukungan AJAX atau berbagai plug-in (API) yang ada di internet. Hal tersebut akan merubah paradigma pengembang sofware dari distribusi produk menjadi distribusi layanan. Sedangkan karakter lainnya, kolaborasi dan partisipasi pengguna, ikut membantu memperkuat perbedaan pada Web 2.0. Suatu website dapat saja memasukkan beberapa bahkan tujuh karakter Web 2.0 di dalam situs yang dibangunnya. Semakin banyak karakter yang masuk ke dalam website tersebut, suatu situs akan mendekati Web 2.0.
Aplikasi Web 2.0 disajikan secara penuh dalam suatu web browser tanpa membutuhkan teknologi perangkat yang canggih dari sisi user. Tidak mengherankan bila suatu aplikasi (software) dapat diakses secara online tanpa harus menginstalnya terlebih dahulu. Software tersebut misalnya software pengolah kata (seperti MS Word) atau software pengolah angka (seperti MS Excel).
Suatu web 2.0 biasanya digunakan sebagai akhir dari siklus peluncuran produk software, mengilustrasikan setiap produsen software tidak lagi meluncurkan produknya dalam bentuk fisik. Karena web menjadi platform, pengguna cukup datang ke website untuk menjalankan aplikasi yang ingin mereka gunakan. Hasil dari pengembangan fitur di dalam software dapat langsung dirasakan oleh pengguna. Software tidak lagi dijual sebagai produk namun berupa layanan (service).

Web 3.0
Hingga kemudian muncul era yang lebih baru lagi yaitu Web 3.0. Teknologi Web generasi ketiga yang pertama kali diperkenalkan tahun 2001 ini memiliki ciri-ciri umum seperti suggest, happen dan provide, dimana disini web seolah-olah sudah seperti kehidupan di alam nyata.
Web 3.0 sendiri juga merupakan sebuah realisasi dari pengembangan sistem kecerdasan buatan (artificial intelegence) untuk menciptakan global meta data yang dapat dimengerti oleh sistem, sehingga sistem dapat mengartikan kembali data tersebut kepada pengunjung dengan baik.
Saat ini adaptasi Web 3.0 mulai dikembangkan oleh beberapa perusahaan di dunia seperti secondlife, Google Co-Ops, bahkan di Indonesia sendiri juga sudah ada yang mulai mengembangkannya, yaitu Li’L Online (LILO) Community.
Dalam era web 3.0, pengembangan aspek sosial sebuah web mulai dipertimbangkan. Aspek sosial yang dimaksud, terutama adalah aspek interaksi. Bagaimana sebuah web dapat memberikan sebuah interaksi sesuai dengan kebutuhan informasi setiap pemakaianya, merupakan sebuah tantangan utama dikembangkannya versi Web 3.0 ini. Walaupun hanya bersifat virtual 3D, namun ternyata banyak yang mengharapkan perkembangan teknologi web ini dapat memenuhi kebutuhan setiap bidang informasi, bahkan setiap orang yang mengunjunginya.
Sebagai teknologi masa depan, Web 3.0 juga membutuhkan kecepatan akses Internet yang memadahi dan spesifikasi komputer yang tidak enteng, hal ini disebabkan tak lain karena teknologi ini secara visual berbasis 3D. Sedangkan seperti yang kita tahu biaya akses Internet dengan kecepatan tinggi di Indonesia ini masih terbilang mahal bagi masyarakat umum. Belum lagi jika dihitung dari biaya spesifikasi perangkat komputer yang dibutuhkan, mungkin masyarakat Indonesia yang ingin menikmati kecanggihan layanan berbasis teknologi Web 3.0 masih harus menarik nafas penjang. Namun karena Web 3.0 sendiri masih dalam pengembangan, seiring dengan berlalunya waktu sebagai masyarakat Indonesia kita masih bisa mengharapkan bahwa biaya komunikasi, dalam hal ini koneksi Internet kecepatan tinggi akan semakin murah nantinya, sehingga terjangkau bagi masyarakat luas.
Web era ini bisa dibilang sangat care dengan kebutuhan kita karena menyediakan apa saja yang kita butuhkan. Contoh sederhana, dengan dukungan teknologi 3-D animasi, kita bisa membuat profil avatar sesuai karakter kita kemudian melakukan aktivitas di dunia maya layaknya kehidupan sehari-hari kita di dunia nyata, mulai dari jalan-jalan, ke mall, ke book store, bercakap-cakap dengan teman lain, dsb. Kalau bisa disimpulkan, Web 3.0 adalah dunia virtual kita. Dia mampu memberi saran dan nasehat untuk kita disamping menyediakan apa yang kita butuhkan. Memang, ini menjadi salah satu keunikan dari Web 3.0 karena konsep dasar yang digunakannya adalah manusia dapat berkomunikasi dengan mesin pencari. Misal, kita bisa meminta Web mencari suatu data spesifik tanpa perlu kita susah payah mencari satu per satu dalam situs-situs Web. Hasil yang diberikan pun juga relevan.